Pak
Diru pergi ke suatu tempat yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.
Sebuah
jalan yang sepi... Banyak debu dan pasir beterbangan. Hari itu, angin cukup
kencang. Ternyata jalan itu terhubung ke suatu perkampungan. Yang kumuh. Di
sana sini banyak poster cukup besar yang terbuat dari kertas karton,
bertuliskan “KAMI TIDAK MAU DIRELOKASI.”
Banyak
laki-laki nongkrong di trotoar. Hampir semua menatap tajam kepada mobil Pak
Diru yang melaju perlahan. Mereka merokok, salah satu diantaranya tampak
mengelus-elus kertas yang membalut batang rokok, sebelum dinyalakan untuk
dihisap.
Tepat
di depan warung kopi, mobil dihentikan. Di dinding warung tampak berjejer,
iklan-iklan suatu merek produk minuman, berbahankan kertas yang mengkilap.
Pak
Diru keluar, duduk di kursi dan memesan minuman. Ada koran tergeletak di atas
meja.
Beberapa
lelaki datang menghampiri, berjalan petantang petenteng. Mata melotot. Tangan
mereka memegang mobil sedan tahun 2000-an itu, berulang kali. Diraba-raba
bagian depan, belakang, kiri dan kanan.
Pak
Diru tidak menghiraukan. Ia tersenyum dan tetap tenang. Mukanya dibersihkan
dengan tisu, karena banyak debu yang beterbangan.
Rupanya
daerah ini merupakan tempat tinggal preman-preman. Udaranya bau, beraroma tak
sedap.
Pak
Diru mulai membaca koran, lembaran-lembaran kertas berwarna putih agak berdebu
itu, dibuka satu persatu.
20 menit kemudian Pak Diru
hengkang, meninggalkan tempat kotor tersebut.
Ia melanjutkan perjalanan...
kembali ke jalan yang sepi berpasir tadi, masuk perempatan besar, lalu belok
kanan. Gerimis mulai turun, 30 menit lamanya Pak Diru menyusuri jalan raya yang
basah. Lalu menepi di dekat Toko Kertas, turun dari mobil, berlari dan berteduh
sebentar.
Ia masuk ke ruko kecil yang di
depannya ada plang bertuliskan "TABIB SAHRONI"
"Ada yang perlu dibantu,
Pak?" tanya seorang bapak-bapak bertopi haji warna hitam, dari dalam ruko.
Ia membawa sebuah buku kitab, yang sejak dari tadi tengah dibacanya.
"Pak tabibnya ada?"
tanya Pak Diru.
"Ia, saya Sahroni. Silakan
duduk." Tabib Sahroni sumringah, karena sejak 2 hari yang lalu, baru kali
ini ada orang yang datang. Rukonya selalu sepi.
"Begini Pak, saya punya
masalah. Ingin rasanya melupakan masa lalu. Apa bapak punya resepnya? Saya
selalu tidak tenang kalau mengingat masa-masa muda, sewaktu masih bekerja di
kantoran." ujar Pak Diru. Di atas meja terdapat kalender tahun 2017,
tumpukan kertas blangko, dan 2 buah buku.
Tabib Sahroni tersenyum lebar, ia
memain-mainkan buku kitabnya, diputar-putar ke kiri dank e kanan, lalu berkata, "Itu bisa disembuhkan.
Namun tidak bisa membuat lupa ke masa lalu. Hanya menenangkan pikiran saja. Ini
sangat ampuh obatnya. Saya tahu kenapa bapak ke sini, saya tahu apa yang telah
bapak lakukan ... mengapa hampir tidak tidur malam demi malam, mengapa tinggal
sendiri. Saya tahu semua, karena saya pernah mengalami hal yang sama. Itulah
alasan yang membawa bapak ke sini. Sekarang ceritakan mengenai latar belakang
kehidupan anda, Pak."
"Pak Tabib pasti bisa
mencari sesuatu di kepala saya, dan mungkin bisa membantu keluar dari lingkaran
setan ini. Saya seorang polisi, mengajar ilmu pertahanan ... di kota kecil
bernama Tamburan. Sebelas tahun yang lalu, pernah berada di kepolisian daerah,
menjabat salah satu staf. Juga jadi pelatih tim sepakbola di sana. Kembali ke
rumah, rumah ketika masih kecil, 2 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya
setelah bekerja di kepolisian. Pandangan hidup menjadi terasa lain, seperti
misteri besar, dan terus kian besar. Jadi merasa ingin berubah. Saya selalu
tulis kenyataan hidup ini dalam lembaran-lembaran kertas folio." kata Pak
Diru. "Jadi bagaimana solusinya, Pak Tabib?"
"Kembali ke rumah masa
kecil?" tanya Tabib Sahroni.
"Saya pulang ke kediaman
orang tua kandung di pinggiran kota yang tenang. Bapak saya dulu kerja di
pabrik kertas." jawab Pak Diru.
"Baiklah..." kata si
tabib yang berkumis dan berjanggut lebat itu, dan langsung memaparkan semuanya.
Lalu membawa selembar kertas dari rak lemari, dan diberikan kepada Pak Diru.
"Itu seluruhnya obat herbal,
alami dan ada juga yang berdasarkan kepada anjuran kesehatan konvensional. Ehe...
Ehm..... Ehm.... Eeeeeehm ehm...." kata sang tabib sembari terbatuk-batuk.
Ia terus batuk, dengan disengaja.
Pak Diru membaca sekilas, lalu
kertas dilipat dan dimasukan ke saku. "Baiklah Pak kalau begitu... Saya
tidak lama sepertinya. Mau pamit."
Tabib Sahroni kembali
terbatuk-batuk, "Ehm... Ehe Ehm... Uhuoooooooo Uhuk Uhuk Huk Huk...
Baiklah Pak, semoga besok-besok pikiran bapak tenang. Uhuuuuoooooooo... Uhuk
Uhuk..."
Pak Diru berdiri lalu keluar
perlahan.
Pak Tabib mengkerutkan dahinya,
ia masih duduk, tidak beranjak. Mulutnya manyun.
Tiba-tiba Pak Diru kembali,
"Pak, saya minta maaf, barusan lupa. Ini mahar buat Bapak."
Pak Diru menyerahkan 10 lembar
uang kertas 10 ribuan.
Dan sang tabib pun dengan sigap
menerima uang tersebut. Tersenyum lebar. "Ia, Pak... terima kasih...
terima kasih. Heheheheheeheheeheheheeeeeheheheh." Tertawa terkekeh-kekeh.
Ia menari-nari, berjoget dangdut di dalam ruangan setelah Pak Diru pergi. Uang
kertasnya tampak tebal, dikibas-kibaskan.
"Waw... dia seorang
polisi. Mukanya mengingatkan kepada
aktor film hollywood, yang juga pernah memerankan film tentang polisi.
Hmmmmm..... Film kesukaanku. Bercerita tentang seorang polisi Los Angeles, yang
setelah hampir dibunuh oleh pasangannya, akhirnya dipaksa untuk pensiun karena
alasan medis, melarikan diri ke Texas, diminta bekerja sebagai pengawal untuk
anak perempuan seorang pengusaha kaya. Waw... Wow..." ujar Tabib Sahroni,
sambil terus berjoget dangdut koplo.
Sementara keesokan harinya Pak
Diru mengunjungi teman lamanya, Pak Jodi dan Bu Jodi yang punya usaha fotokpi.
Tampak di sana banyak sekali tumpukan kertas, amplop, brosur, makalah, buku-buku, dan beberapa koran.
Tampak di sana banyak sekali tumpukan kertas, amplop, brosur, makalah, buku-buku, dan beberapa koran.
Pak Jodi sangat antusias, ia
berkata, "Pak!!! Wah, senang sekali bapak ke sini lagi, itu mobil Pak Markus
ya? Apa bapak tinggal di rumahnya sekarang?"
"Ia Pak, saya tinggal di
rumahnya. Apa kabar, bapak sehat?" tanya Pak Diru, tersenyum ramah.
"Di mana ibu?"
"Waaah, syukurlah kalau
begitu, semoga bapak betah tinggal di sana." ujar Pak Jodi, bersemangat.
"Ibu ada di belakang, sedang membereskan tumpukan kertas HVS dan folia bergaris... Biar saya panggilkan, dia akan senang melihat
kedatangan bapak."
"Biar aja Pak, saya mau
langsung pergi lagi." ucap Pak Diru, segera melangkah ke luar, namun Pak
Jodi dengan sigap mencegahnya.
"Tunggu Pak, istirahatlah
dulu. Sekarang waktunya bersantai. Di
atas meja ada beberapa potong pisang goreng panas. Juga ada majalah ekonomi kesenangan bapak." kata Pak
Jodi.